Newest Post

Wallahu a’lam atau Wallahu ‘alam?

| Tuesday, April 14, 2015
Read more »



Mungkin ada sebagian orang yang tidak ambil pusing tentang tulisan latinnya, tetapi bagi penulis sendiri penulisan yang salah akan membuat tidak enak membacanya, dan tidak sreg...begitulah kira kira.
Tapi bagi penulis sendiri setiap tulisan atau sebutan walaupun salah atau kita tidak faham tetap memberi makna.


Kalimah Wallahu a’lam jika didalam bahasa atau tulisan arabnya ialah: والله أعلم , dimana huruf wau و membawa maksud “dan”, perkataan الله yakni Allah, manakala أعلم bermaksud “Yang Maha Mengetahui/Yang Lebih Mengetahui”. Jadi jika digabungkan membawa maksud: “Dan Allah (yang) Maha Mengetahui”. Jika belajar  tata bahasa Arab, banyak maksud yang boleh dari perkataan والله أعلم itu sendiri, misalnya “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui”, “Dan Allah Lebih Mengetahui” dan lain-lain. Jadi penggunaan yang betul ialah Wallahu a’lam (والله أعلم) dengan tanda koma di atas yang menggantikan huruf ain dan bukannya Wallahu’alam (والله علم), Jika anda chatting dengan orang arab dia akan tulis Wallahua3lam. 3 itu sebagai ganti huruf ‘ain (ع) yang diterbalikkan .

Ejaan a’lam di dalam bahasa arab adalah – alif, ein, lam dan mim = أعلم
Ejaan ‘alam di dalam bahasa arab pula – ein, lam dan mim sementara = علم
Ejaan alam di dalam bahasa arab pula – alif, lam dan mim = ألم
Ejaan aklam di dalam Bahasa Arab pula – alif, kaff, lam dan mim = أكلم

Jika anda membaca kitab-kitab agama memang akan sering menemui perkataan Wallahu a’lam. untuk  mengajarkan diri dengan sifat tawadduk, setinggi apapun ilmu kita,  kita sebut perkataan Wallahua’lam supaya kita sentiasa sadar bahwa ilmu itu milik Allah SWT dan Dialah yang lebih mengetahui-Nya.

Penggunaan perkataan Wallahu a’lam ini juga digunakan supaya kita sadar bahwa ilmu dan pengetahuan kita terbatas dan kita hamba Allah yang lemah. Wallahhu a’lam.

Maksud Wallahu’alam bisshawab (والله أعلمُ بالـصـواب) itu adalah "dan Allah lebih mengetahui yang sebenar-benarnya (and Allah knows the right)"

Wallahu’alam bisshawab


Wallahu a’lam atau Wallahu ‘alam?

Posted by : Unknown
Date :Tuesday, April 14, 2015
With 9comments

Apakah meninggal di hari jumat bisa terbebas dari azab kubur?

|
Read more »



Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT.
Sekarang Penulis mencoba membahas sedikit tentang Meninggal di hari jumat, mungkin kita masih ragu apa iya meninggal di hari jum'at itu bisa terbebas dari azab kubur? berikut ulasannya, semoga bermanfaat untuk kita semua.


Bagi umat Islam, Hari Jum’at merupakan hari yang paling istimewa dan memiliki kelebihan dibanding hari-hari lainnya. Namun benarkah Kematian pada hari jumat dianggap sebagai penanda bahwa seorang muslim meninggal dalam keadaan khusnul khatimah (akhir yang baik) dan akan terbebas dari siksa kubur?

Berdasarkan beberapa hadist para ulama menyimpulkan bahwa benar seseorang yang meninggal pada hari Jum’at mendapat keistimewaan. Salah satunya adalah siapa yang meninggal di dalamnya maka ia aman dari adzab kubur. Pendapat tersebut didasarkan kepada beberapa hadits berikut ini.

Dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad no. 6582 dan At-Tirmidzi no. 1074)

Akan tetapi para ulama hadis berbeda pendapat tentang kesahihan hadis ini. Mereka berpendapat bahwa hadis itu adalah hadis dhaif. Imam Tirmizi ketika meriwayatkan hadis ini menjelaskan hadis tersebut adalah hadis gharib, yang kemudian ditegaskannya lagi sanadnya tidak tersambung (munqathi’/terputus).
Kalau memang orang itu baik maka meninggal di hari Jumat menjadi kebaikan. Tetapi bila selama hidupnya bergelimang dosa, maka akan tetap saja mendapat azab.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani menegaskan dalam kitab Fathul Bari sanad hadis ini dhaif dan juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan lafaz yang semisalnya dari Hadis Anas bin Malik, tetapi sanadnya lebih dhaif lagi.

Syekh Syu’aib Al-Arnauth ketika memberi komentar terhadap hadis ini dalam Musnad Imam Ahmad mengatakan sanad hadis itu dhaif. Kemudian, ia menyebutkan beberapa hadis yang mendukung dan menegaskan semua hadis yang mendukung tersebut tidak bisa digunakan untuk menguatkan hadis ini.
Dan, Albani telah salah karena mengatakan hadis itu hasan atau sahih dalam kitabnya Ahkam al-Janaiz.

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam kitabnya al-Mushannaf dengan lafaz “dilepaskan dari azab kubur”, tetapi dalam sanadnya ada Ibnu Juraij yang terkenal dalam mentadlis hadis.

Jika hadis-hadist di atas adalah hadis sahih maka itu menunjukkan keutamaan bagi Muslim dan Muslimah yang meninggal pada hari Jumat. Dan, tentunya keutamaan ini hanya bagi kaum Muslimin yang meninggal dalam ketauhidan, yakni keimanannya tidak dinodai oleh kemusyrikan, kekufuran, serta segala yang membatalkan keimanan seseorang.

Sedangkan, mereka yang meninggal dalam kemusyrikan dan kekufuran tentunya akan mendapatkan azab kubur dan siksa neraka sebagaimana yang telah dijanjikan Allah SWT dalam Alquran dan Sunah Rasul-Nya.

Sebagai seorang Muslim dan berpegang pada akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kita tidak boleh memastikan bahwa seseorang akan masuk surga atau masuk neraka, kecuali yang sudah disebutkan oleh Nabi saw dalam hadis-hadisnya.

Sebagian ulama mengatakan jika memang kematian seseorang pada hari tertentu memiliki keutamaan atau keistimewaan tentunya hari Senin lebih utama karena pada hari itulah Nabi Muhammad SAW, kekasih dan makhluk paling mulia yang diciptakan Allah SWT, meninggal dunia.

kalau memang orang itu baik maka meninggal di hari Jumat menjadi kebaikan. Tetapi bila selama hidupnya bergelimang dosa, maka akan tetap saja mendapat azab.

wallahu a'lam




Apakah meninggal di hari jumat bisa terbebas dari azab kubur?

Posted by : Unknown
Date :
With 0comments

Apakah Ibadah Istri harus seizin suami?

| Friday, April 10, 2015
Read more »


Semoga Allah selalu melindungi kita semua, aamiin....
saat ini penulis mencoba membahas membahas tentang ibadah istri tanpa izin suami, baiklah langsung saja.

1. Hadist Pendukung

Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih [1], dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ


“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”[2]

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ


“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya”[3]

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya.[4]

2. Izin Suami Dalam Hal Puasa Wajib

Dalam hal puasa wajib seperti puasa ramadhan, istri tak harus mendapat ridho suami,  karena itu adalah perintah langsung dari Allah. Dan ketaan kepada Allah itu lebih utama daripada ketaan kepada suami.

Namun sebagian ulama juga menyebutkan bahwa : puasa wajib yang memiliki keluangan waktu (Al-waajibu Al-muwassa’) seperti puasa qadha’ ramadhan atau kaffarah atau puasa nazdar muthlaq (yang hari H-nya tidak ditentukan), seorang wanita tetap dianjurkan meminta izin dari suaminya ; hari apa saja yang tepat baginya untuk berpuasa, karena puasa jenis ini bisa ditunda dan dilaksanakan dalam waktu/hari kapan saja. (Lihat Fathul-Bari : 9/295)

Kecuali dalam puasa qadha Ramadhan, jika Bulan Sya’ban akan berakhir dan Bulan Ramadhan tinggal menyisakan beberapa hari lagi, sementara si istri masih memiliki utang puasa qadha ramadhan, maka dalam keadaan ini, tidak perlu menunggu izin dari sang suami untuk mengqadha puasanya, sebab jika ia tidak berpuasa qadha maka hutang puasa tersebut tidak akan terbayar hingga tiba Ramadhan, dan ini merupakan suatu dosa dan kelalaian jika dilakukan tanpa adanya udzur/alasan yang dibenarkan oleh syar’i.

Dan bagi suami diharapkan akan mengizinkan sang istri untuk berpuasa yang sifatnya mengganti puasa yang tertinggal di bulan ramadhan, agar cepat terlepas dari hutang berpuasa.

Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 133 :
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ  مِّن  رَّبِّكُمْ  وَجَنَّةٍ  عَرْضُهَا  السَّمٰوٰتُ  وَالْأَرْضُ  أُعِدَّتْ  لِلْمُتَّقِينَ
Artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS Ali ‘Imran : 133).
3. Izin Suami dalam Puasa sunnah
wanita muslimah wajib mendapat izin dari suaminya terlebih dahulu sebelum melakukannya, ini sesuai hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ;

 ( لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه

 Artinya : “Seorang wanita tidak halal untuk puasa sedangkan suaminya ada bersamanya (tidak safar) kecuali dengan seizinnya”. (HR Bukhari : 5195, dan Muslim : 1026 , dan dalam riwayat Abu Daud (2458) ada tambahan lafadz : kecuali puasa ramadhan).

Tambahan lafadz (kecuali puasa ramadhan) dalam hadis ini, tidaklah shahih, namun para ulama sepakat bahwa dalam puasa wajib seperti puasa ramadhan, qadha, puasa nadzar, atau kaffarah wanita muslimah tidak perlu menanti adanya izin dari sang suami. Namun apabila di tengah tengah puasa suami meminta istri untuk membatalkan puasanya, disebabkan misalnya ingin berhubungan badan, maka sang istri wajib mengikuti permintaan sang suami, dan apabila istri menolak untuk permintaan suami, maka sang istri sudah melakukan suatu hal yang membuat dirinya berdosa karena mengkuti perintah suami itu wajib, sedangkan puasa yang dilakukan adalah puasa sunnah

Ketika seorang istri meminta izin suami untuk berpuasa, walaupun suami tidak menjawab dan istri memahami bahwa sang suami memberi syarat mengizinkan, maka istri boleh melakukan puasa sunnah.

Sumber : Link 1, Link 2

  1. Istilah muttafaq ‘alaih secara bahasa berarti disepakati atasnya. Dalam ‘urf para ahli hadis, istilah ini biasanya digunakan untuk hadis yang disepakati kesahihannya oleh dua imam hadis: Imam al-Bukhâri dan muridnya, Imam Muslim-rahimahumallâh. Atau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari – Muslim.
  2. HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026
  3. HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
  4. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21



semoga bermanfaat bagi kita semua. Jika ada salah dan janggan penulis mohon kiritk dan salam.


Apakah Ibadah Istri harus seizin suami?

Posted by : Unknown
Date :Friday, April 10, 2015
With 0comments
Tag :
Next Prev
▲Top▲