Apakah Ibadah Istri harus seizin suami?

| Friday, April 10, 2015


Semoga Allah selalu melindungi kita semua, aamiin....
saat ini penulis mencoba membahas membahas tentang ibadah istri tanpa izin suami, baiklah langsung saja.

1. Hadist Pendukung

Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih [1], dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ


“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”[2]

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ


“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya”[3]

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya.[4]

2. Izin Suami Dalam Hal Puasa Wajib

Dalam hal puasa wajib seperti puasa ramadhan, istri tak harus mendapat ridho suami,  karena itu adalah perintah langsung dari Allah. Dan ketaan kepada Allah itu lebih utama daripada ketaan kepada suami.

Namun sebagian ulama juga menyebutkan bahwa : puasa wajib yang memiliki keluangan waktu (Al-waajibu Al-muwassa’) seperti puasa qadha’ ramadhan atau kaffarah atau puasa nazdar muthlaq (yang hari H-nya tidak ditentukan), seorang wanita tetap dianjurkan meminta izin dari suaminya ; hari apa saja yang tepat baginya untuk berpuasa, karena puasa jenis ini bisa ditunda dan dilaksanakan dalam waktu/hari kapan saja. (Lihat Fathul-Bari : 9/295)

Kecuali dalam puasa qadha Ramadhan, jika Bulan Sya’ban akan berakhir dan Bulan Ramadhan tinggal menyisakan beberapa hari lagi, sementara si istri masih memiliki utang puasa qadha ramadhan, maka dalam keadaan ini, tidak perlu menunggu izin dari sang suami untuk mengqadha puasanya, sebab jika ia tidak berpuasa qadha maka hutang puasa tersebut tidak akan terbayar hingga tiba Ramadhan, dan ini merupakan suatu dosa dan kelalaian jika dilakukan tanpa adanya udzur/alasan yang dibenarkan oleh syar’i.

Dan bagi suami diharapkan akan mengizinkan sang istri untuk berpuasa yang sifatnya mengganti puasa yang tertinggal di bulan ramadhan, agar cepat terlepas dari hutang berpuasa.

Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 133 :
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ  مِّن  رَّبِّكُمْ  وَجَنَّةٍ  عَرْضُهَا  السَّمٰوٰتُ  وَالْأَرْضُ  أُعِدَّتْ  لِلْمُتَّقِينَ
Artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS Ali ‘Imran : 133).
3. Izin Suami dalam Puasa sunnah
wanita muslimah wajib mendapat izin dari suaminya terlebih dahulu sebelum melakukannya, ini sesuai hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ;

 ( لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه

 Artinya : “Seorang wanita tidak halal untuk puasa sedangkan suaminya ada bersamanya (tidak safar) kecuali dengan seizinnya”. (HR Bukhari : 5195, dan Muslim : 1026 , dan dalam riwayat Abu Daud (2458) ada tambahan lafadz : kecuali puasa ramadhan).

Tambahan lafadz (kecuali puasa ramadhan) dalam hadis ini, tidaklah shahih, namun para ulama sepakat bahwa dalam puasa wajib seperti puasa ramadhan, qadha, puasa nadzar, atau kaffarah wanita muslimah tidak perlu menanti adanya izin dari sang suami. Namun apabila di tengah tengah puasa suami meminta istri untuk membatalkan puasanya, disebabkan misalnya ingin berhubungan badan, maka sang istri wajib mengikuti permintaan sang suami, dan apabila istri menolak untuk permintaan suami, maka sang istri sudah melakukan suatu hal yang membuat dirinya berdosa karena mengkuti perintah suami itu wajib, sedangkan puasa yang dilakukan adalah puasa sunnah

Ketika seorang istri meminta izin suami untuk berpuasa, walaupun suami tidak menjawab dan istri memahami bahwa sang suami memberi syarat mengizinkan, maka istri boleh melakukan puasa sunnah.

Sumber : Link 1, Link 2

  1. Istilah muttafaq ‘alaih secara bahasa berarti disepakati atasnya. Dalam ‘urf para ahli hadis, istilah ini biasanya digunakan untuk hadis yang disepakati kesahihannya oleh dua imam hadis: Imam al-Bukhâri dan muridnya, Imam Muslim-rahimahumallâh. Atau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari – Muslim.
  2. HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026
  3. HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
  4. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21



semoga bermanfaat bagi kita semua. Jika ada salah dan janggan penulis mohon kiritk dan salam.


0 comments:

Post a Comment

Next Prev
▲Top▲